Mempraktikkan dan
mengajarkan bahasa Indonesia bagi bukan penutur asli bahasa ini bagiku
awalnya adalah ketidaksengajaan. Cerita ini bermula saat aku menuntut
ilmu di negeri Kangguru setahun silam. Tepatnya di Townsville, kota
pesisir yang terletak di negara bagian Queensland, Australia. Dengan
mengatasnamakan persatuan pelajar Indonesia di James Cook University,
aku dan teman-temanku mendapatkan undangan untuk mengajarkan budaya
Indonesia di sebuah sekolah, Townsville Grammar School. Gayung bersambut, kami pun tanpa ragu menerima undangan belajar bersama para pelajar Australia.
Pertama kali datang dan berkesempatan mengenalkan budaya Indonesia di
sekolah tersebut kami pun sangat terkesan. Betapa tidak, di sekolah ini bahasa Indonesia ternyata telah menjadi salah satu mata pelajaran yang menjadi
bagian kurikulum pengajaran dari grade 1 (sebutan untuk kelas 1 sekolah
dasar) hingga grade 12 (atau setingkat kelas 3 sekolah menengah atas). Tidak
hanya itu, menurut cerita sang guru, sekolah ini adalah sekolah
satu-satunya yang mengajarkan bahasa Indonesia di daerah tersebut.
Dahulu beberapa sekolah sempat mengajarkan bahasa Indonesia namun entah
mengapa hal tersebut tidak bertahan lama. Hanya sekolah inilah yang
hingga kini tetap mempertahankan dan melestarikan pelajaran bahasa
Indonesia.
Hal lain yang menarik dari sekolah ini terkait dengan pengajaran bahasa
Indonesia adalah tersedianya fasilitas berupa ruang khusus kelas
Indonesia. Ruang kelas tersebut merupakan ruangan khusus dimana para
siswa dapat mempelajari Indonesia, dari segala aspeknya mulai dari
budaya hingga bahasa. Di sini dapat dijumpai mulai
dari peta Indonesia, bendera Merah Putih, kain batik, wayang, aneka
alat permainan tradisional hingga tulisan-tulisan berbahasa Indonesia
yang terpampang di dinding kelas. Untuk aktifitas belajar di kelas,
setiap siswa diberikan buku tulis khusus pelajaran bahasa Indonesia yang
disampulnya tertuliskan nama siswa, kelas, dan nama guru pengajar dalam
bahasa Indonesia. Sehari-harinya para siswa belajar
bersama guru - guru berkebangsaan Australia, namun demikian pihak
sekolah terkadang mengundang pelajar atau komunitas Indonesia. Wah hebat
ada kelas bahasa Indonesia di negeri tetangga, pikirku kala itu.
Ketika pertama bertatap muka dengan para siswa, kami mendapatkan
sambutan luar biasa. Kami disapa ucapan “Selamat Datang” oleh
siswa-siswa cilik dengan aksen kental Australia. Walau tidak sepenuhnya
kami menggunakan bahasa Indonesia kala itu, kesan pertama bertemu dengan
pelajar-pelajar Australia dengan antuasiasme yang tinggi akan budaya
dan bahasa Indonesia, membuat kami gembira. Sebagai guru tamu, di
kemudian hari kami pun tidak hanya diberi kesempatan untuk mengajarkan
budaya Indonesia, kami juga berkesempatan untuk mengajarkan bahasa
Indonesia. Lewat bahasa percakapan sederhana, kami mengajarkan bahasa
Indonesia dan ternyata siswa-siswa mudah untuk memahaminya. Ucapan
“Selamat Pagi”, “Selamat Siang” dan “Terima Kasih” dari para siswa
seakan menjadi sapaan pengobat rindu kami akan tanah air. Apalagi ketika
teringat mereka belajar berhitung angka 1 hingga 10 dengan logat mereka
yang unik dengan polah tingkah mereka yang terkadang lucu, menambah
semangat kami untuk belajar bahasa Indonesia.
Ada metode menarik pengajaran bahasa Indonesia di sekolah ini. Selain
telah disediakan ruangan kelas khusus Indonesia, dimana seakan-akan
siswa berada di Indonesia, pihak sekolah juga mengenalkan bahasa
Indonesia lewat kebudayaan dan kesenian Indonesia. Mengajarkan bagaimana cara memasak makanan khas Indonesia seperti pisang goreng, hingga
bermain permainan tradisional seperti congklak adalah salah satu contoh
bagaimana bahasa Indonesia dikenalkan di sekolah ini. Bila mereka
membutuhkan, kamus bahasa Indonesia-Inggris pun telah disediakan oleh
pihak sekolah. Belajar bahasa dengan menyelami budayanya terbukti
menjadi cara ampuh praktik pengajaran bahasa kita di negeri tetangga.
copy from : www.bahasa.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar