Pages

Jumat, 11 April 2014

Dua contoh kasus pelanggaran etika di dunia maya yang menyebabkan pertikaian dan masuk ke ranah hukum

kasus pertama :

Dianggap Bersalah, @Benhan Divonis 6 Bulan Pidana

 

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 6 bulan pidana dengan masa percobaan 1 tahun kepada terdakwa Benny Handoko. Dalam sidang putusan, hakim menyatakan Benny terbukti melakukan pencemaran nama baik mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun.

"Terdakwa terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana," kata hakim ketua Suprapto dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 5 Februari 2014. "Dengan sengaja, tanpa hak mendistribusikan, sehingga dapat diaksesnya informasi elektronik ke publik."

Suprapto mengatakan Benny tidak perlu menjalankan hukuman 6 bulan penjara asalkan tidak melakukan tindak pidana yang sama selama masa percobaan 1 tahun. Pemilik akun Twitter @Benhan itu juga harus membayar biaya perkara sebesar Rp 10 ribu.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. "Tuntutannya 1 tahun, tapi ini separuhnya," kata jaksa Fahmi Idris. "Mungkin majelis hakim punya pertimbangan sendiri. Kami menghormatinya."

Dengan dijatuhkannya keputusan bersalah, Fahmi menyatakan itu sudah membuktikan bahwa Benny telah melakukan tindak pidana. "Ini bukan puas atau tidak puas, membuktikan benar atau tidak. Tapi dakwaan jaksa terbukti," katanya. Fahmi pun siap jika Benny mengajukan banding.

Benny sendiri menyatakan tidak puas dengan keputusan hakim. Alasannya, pendapat soal Misbakhun hanya berupa kicauan di media sosial, tapi malah memenjarakannya. "Majelis hakim menunjukkan bahwa kita tidak bebas mengkritik. Padahal banyak orang menggunakan Twitter untuk menunjukkan sikap politiknya," ucap Benny.



Benny divonis 6 bulan lantaran melakukan pencemaran nama baik terhadap Mukhamad Misbakhun di Twitter. Pemilik akun @benhan itu menyebut Misbakhun sebagai perampok Bank Century. Tak terima, Misbakhun dan Benny sempat perang di dunia maya hingga akhirnya politikus Partai Keadilan Sejahtera itu melaporkan Benny ke polisi.

kesimpulan :
jika dipandang dari sisi etika, jelas kicauan benny di twitter yang menyatakan bahwa misbakhun adalah perampok bank century sangat merugikan pihak misbahkhun, karena tanpa di sadari dia telah membiarkan para followers dirinya di dunia maya mengetahui lebih jelas kasus tersebut dan berpotensi membuat semua orang yang membaca pernyataan tersebut menjadi beranggapan bahwa misbakhun adalah perampok bank century. ini jelas sangat merugikan dan mencemarkan nama baik misbakhun karena belum tentu pernyataan yang diberikan oleh benny d twitternya adalah benar. ini bisa menimbulkan fitnah dan menjatuhkan karier misbakhun sebagai pihak yang belum terbukti bersalah, sekaligus menjatuhkan nama benny juga sebagai orang yang menyebarkan pernyataan yang belum terbukti kebenarannya itu, dia bisa secara langsung mendapatkan cemoohan dari publik dan di cap sebagai "penyebar gosip dunia maya" dan bukan itu saja, akibat perilaku yang tidak terpuji tersebut dia harus menjalani masa percobaan tahanan di penjara.



kasus kedua :

Sejarawan Dituntut Gara Gara Tulisan di Facebook

Pemerhati sejarah dan budaya asal Surabaya, Deddy Endarto, dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik Direktur PT Manunggal Sentral Baja Sundoro Sasongko, investor pabrik baja di kawasan cagar budaya Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Sundoro melaporkan Deddy dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui informasi elektronik dalam jejaring sosial Facebook. Deddy terancam pidana sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Apa yang disampaikan klien saya di Facebook itu merupakan hak berpendapat yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945," kata kuasa hukum Deddy, Chrisman Hadi, saat dihubungi, Selasa, 10 Desember 2013.

Apalagi menurut Chrisman, materi posting-an di akun Facebook Deddy Endarto itu sama sekali tidak menyebut nama Sundoro. "Secara limitatif atau secara langsung tidak menyebut nama seseorang," ujarnya.

Hal yang dipersoalkan pelapor dan penyidik kepolisian adalah pemakaian istilah pengusaha hitam dalam salah satu posting-an. "Istilah pengusaha hitam itu kan banyak dan macam-macam," kata pengacara asal Surabaya ini.

Deddy adalah pemerhati sejarah dan budaya yang juga pengelola komunitas budaya Wilwatikta. Deddy telah dimintai keterangan penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur 28 November 2013 lalu. Ia mengakui bahwa akun Facebook miliknya, Deddy Endarto, telah disita penyidik sebagai barang bukti.

Hingga kini perkara tersebut masih tahap penyelidikan dan status Deddy masih saksi terlapor. "Apa yang saya sampaikan di Facebook itu ada kaitannya dengan peristiwa sebelumnya," katanya. Melalui Facebook, pegiat forum Wilwatikta dan Save Trowulan ini mengkritik rencana pendirian pabrik baja di Trowulan.

Sundoro mengakui dirinya yang melaporkan Deddy ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui informasi elektronik. "Dia merusak nama saya karena menyebut saya pengusaha hitam."

Sundoro mengatakan, persoalan ini terpisah dengan polemik pendirian pabrik baja di Trowulan yang ditentang masyarakat, termasuk Deddy. "Ini beda dengan soal pabrik baja dan cagar budaya," ujarnya.

kesimpulan :

meski belum tentu terbukti siapa yang orang yang dituju oleh dedy dengan menuliskan "pengusaha hitam " di facebook, namun akan lebih baik jika deddy lebih berhati hati dalam berposting di dunia maya, apalagi di sosial media seperti facebook, semua orang jelas bisa melihat dan membaca apa yang dirinya posting dan masalah akan lebih rumit lagi jika pada akhirnya deddy salah sasaran dengan mengatakan "pengusaha hitam " kepada pihak yang salah dan terbukti tidak bersalah. perilaku deddy ini bisa merusak nama dirinya sendiri dan membuat orang lain yang membacanya beranggapa bahwa deddy adalah orang yang mudah menyebarkan fitnah tentang orang lain ke dunia maya agar orang orang lain membaca dan ikut memikirkan apa yang dia pikirkan.


source by : http://www.tempo.co